Siapakah anak yang hilang dalam perumpamaan ini? Dengan cepat kita dapat menunjuk anak bungsu sebagai anak yang hilang. Dibantu oleh lukisan Rembrant tentang anak yang hilang, pertanyaan yang sama direnungkan oleh Henry Nouwen. Perenungan ini dituangkan dalam buku berjudul Kembalinya Si Anak Hilang. Di dalam perenungannya, Nouwen menemukan bahwa anak yang hilang bukan hanya si bungsu, tetapi juga si sulung! Oleh karena itu, menurut Nouwen perumpamaan ini lebih tepat disebut “Perumpamaan tentang Anak-anak yang Hilang”.

Anak yang bungsu terhilang ketika ia meminta warisan kepada ayah yang masih hidup lalu pergi berfoya-foya.  Menurut kebiasaan orang Yahudi, warisan orangtua jatuh kepada anak-anaknya ketika ayahnya meninggal (Bil. 27:8-11; Ul. 21:15-17). Tindakan anak bungsu ini tidak dapat dibenarkan, bahkan dapat disebut kurang ajar. Dengan meminta warisan itu, sama saja ia mengharapkan ayahnya segera meninggal. Setiap anak Yahudi wajib menghormati orangtuanya dengan merawat mereka ketika lanjut usia. Dengan meninggalkan orangtuanya, si bungsu telah menolak kewajiban untuk merawat orangtua.

Anak yang sulung juga terhilang karena sekalipun ia tinggal dalam rumah, tetapi ia tidak pernah merasa sebagai anak. Nouwen merenungkan bahwa si sulung terhilang dalam kemarahan dan iri hati karena perlakuan sang ayah kepada adiknya. Bagi si sulung, tindakan ayahnya mengadakan pesta penyambutan bagi si bungsu adalah ketidakadilan. “Telah bertahun-tahun aku melayani Bapa dan belum pernah aku melanggar perintah Bapa, tetapi kepadaku belum pernah Bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.” Dalam keluhan ini, ketaatan dan kewajiban dirasa sebagai beban; pelayanan dirasa sebagai perbudakan.

Perumpamaan ini perlu dibaca dengan memperhatikan relasi Yesus, orang berdosa serta orang Farisi dan ahli Taurat. Orang-orang berdosa datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Tetapi, orang Farisi dan ahli Taurat bersungut-sungut: mereka tidak dapat menerima tindakan Yesus karena bagi mereka, orang berdosa itu harus dijauhi.

Perumpamaan ini juga mengingatkan bahwa kita bisa saja menjadi anak yang hilang, baik si bungsu atau si sulung. Ingatlah untuk “pulang” ketika kita telah pergi jauh meninggalkan Tuhan. Allah merindukan orang berdosa kembali kepada-Nya. Akan tetapi kalaupun kita merasa sudah “tinggal dalam rumah”, maka ikutlah dalam sukacita bersama Bapa yang penuh kasih menyambut mereka yang “pulang ke rumah”. Amin. DWE