Yesus, dalam perjalanannya berhenti saat mendengarkan orang banyak tertawa mengejek seorang kepala pemungut cukai, dengan teriakan: “Zakkai si pendek” atau “Zakkai pengkhianat” atau “Zakkai pemeras” atau “Zakkai pencuri” atau “Zakheus pemungut cukai gadungan” atau ejekan lainnya. Yesus tidak ikut mengejek. Bisa jadi Yesus menghardik agar orang banyak diam, lalu berjalan menghampiri Zakheus di pohon ara tempat Zakheus melihat diri-Nya, dan menyapa dengan kelemahlembutan, dengan cinta dan dengan jelas, sambil melihat ke arah pohon dan memanggil namanya, “Zakheus turun.” Segera Zakheus turun dan Yesus menunggu bahkan membantunya turun dari pohon itu, lalu bersalaman. Pegangan tangan Yesus sekaligus menghancurkan semua rasa rendah dirinya, rasa malunya dan perlahan menatap Yesus dan tersenyum. Dengan kalimat terbata, Zakheus mengkonfirmasi keinginan Yesus menumpang di rumahnya: “Tuhan..... tidakkah aku salah dengar tadi, bahwa....Engkau mau menum.....pang di rumahku?” Yesus dalam kelembutan menjawab, “Ya, Zakheus, Aku harus menumpang di rumahmu.” “Ya, Aku mau tinggal di rumahmu dan jika boleh Aku mau makan bersama denganmu, keluargamu, tetanggamu, sahabatmu dan rekan sekerjamu.”

Sejak itu tatapan Zakheus semakin binar dan dengan sukacita berdialog dengan Yesus,  sambil berjalan bersama menuju rumahnya. Sukacitanya membuat ia tidak lagi mendengar ejekan dan olokan orang banyak, baik untuk dirinya maupun untuk Yesus. Bahkan, semua anak buahnya yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya, bergabung bersama Zakheus dan Yesus menuju rumahnya. Suasana di lingkungan Zakheus tinggal, yang tadinya sepi sontak menjadi ramai. Sesampai di rumah, Zakheus menyuruh isteri, anak dan hamba-hambanya menyiapkan hidangan yang paling enak. Semuanya makan dengan sukacita dan kenyang. Saat semuanya sedang menikmati perut kenyang, Zakheus menghampiri Yesus dan meminta waktu agar ia diizinkan menyampaikan sesuatu. Lalu dalam ketenangan dan bahagia, ia berkata: “Tuhan, isteri dan anak-anakku, teman-teman dan sahabatku, dalam kerendahan hati dan sukacita yang besar, dengan ini saya menyampaikan bahwa setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang, akan kukembalikan empat kali lipat.” “Kalian semua menjadi saksi atas kata-kataku itu, atas komitmenku dan aku tidak akan mengingkarinya.” “Kiranya Allah menolong aku.” Sejenak sebagian orang terperanjat, tetapi setelah itu seisi rumah bergembira, bahkan juga ada yang ikut menyampaikan hal yang sama.

Perjumpaan dengan Allah dalam cinta dan pengampunan selalu berujung pada perubahan hidup, pada pertobatan, pada komitmen dan sikap percaya kepada Allah. Perjumpaan dengan Allah, memungkinkan kita untuk merasakan persahabatan dengan Allah, dan persahabatan itu memungkinkan  setiap orang merasakan kasih Allah. Persahabatan dengan Allah pastinya tidak membiarkan kita menjadi terasing dan asing. Tidak ada alienasi dalam perjumpamaan dengan Allah. Saat manusia tidak teralienasi di hadapan Allah, maka hidup sungguh melimpah. Seperti firman-Nya: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10: 10) Zakheus telah menemukan kembali hidupnya dan hidupnya sekarang ini hanya untuk Allah dan sesama manusia. Ia rela memberi dan berbagi kehidupan.  Amin. (TMP)