Syukur kepada Allah dan terpujilah Kristus Sang Raja Gereja, hari ini GKI (Gereja Kristen Indonesia) merayakan 37 tahun penyatuannya. Dari tiga sinode; GKI Jawa Barat – GKI Jawa Tengah – GKI Jawa Timur, di mana sebelumnya ketiganya memiliki aturan masing-masing dengan corak kepemimpinan, tradisi dan kekhasannya boleh menyatukan diri. Proses penyatuan GKI bukanlah perkara mudah, puluhan tahun dipuayakan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Upaya penyatuan dari tiga sinode GKI selain perjuangan juga kerelaan dan hati yang bersedia untuk saling menerima, saling menghargai dan saling mengasihi seperti yang Tuhan Yesus ajarkan.
Berbarengan dengan 37 tahun penyatuan GKI dengan tema “Gereja Yang Memanusiakan Manusia” menjadi penting mengingat penyatuan yang telah terwujud adalah upaya panjang dan terus berproses. Menanggalkan “ego” dengan aturan yang berlaku dan berlangsung lama tentu bukan hal mudah dengan berusaha untuk terus berproses dan berjalan dengan satu aturan Tata Gereja dan Tata Laksana GKI. Pada satu sisi kita bangga, GKI sebagai gereja yang awalnya berjalan sendiri-sendiri dari tiga sinode yang berbeda berjalan bersama. 37 tahun (bahkan sebelumnya) berbagai macam aturan hidup bersama disiapkan, dibuat dan diberlakukan. Di sisi lain, berjalan bersama bukanlah perkara mudah, memberatkan dan menciptakan beban.
Melalui Injil Lukas 13:10-13 kita sedang diingatkan dan kritik atas praktik hidup dengan aturan yang berlaku yang tanpa disadari menjadi legalistik dan ritualistik hingga kerap kali terjadi ketegangan ritual dan ketegangan sosial. Kisah penyembuhan Yesus kepada perempuan bungkuk selama delapan belas tahun, merupakan pembebasan terhadap derita yang tidak mudah untuk diterima baginya. Bagaimana tidak perempuan itu hidup dengan belenggu sekaligus siksaan, tekanan sosial, mental dan berbagai macam omongan menjadi orang yang sehat, normal, bebas, dan tidak lagi menjadi orang yang terikat dengan segala penilaian. Yesus telah memanusiakan manusia dengan menjadikan perempuan itu memiliki nilai yang sama dengan perempuan lain, menjadi kembali sebagai mana manusia seutuhnya yang berharga di hadapan Allah. “Hai ibu, engkau telah bebas dari penyakitmu.” (ay. 12) yang menjadikan perempuan itu memuliakan Allah dan bersukacita. Itulah wujud tindakan kehadiran Allah yang dilakukan Yesus.
Apa yang dilakukan Yesus dalam memanusiakan manusia dianggap dan dinilai oleh kepala rumah ibadah sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah. Hukum ke-4 dari sepuluh firman (Perintah Allah), “Ingat dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu. Tetapi, hari ketujuh adalah hari Sabat bagi TUHAN, Allahmu. Jangan melakukan pekerjaan apa pun, engkau, anakmu laki-laki atau perempuan, hambamu laki-laki atau perempuan, hewanmu, ataupun pendatang di dalam kotamu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh. Itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.” Keluaran 20:8-11. Penyembuhan oleh Yesus dinilai sebagai pekerjaan dan karena dilakukan pada hari Sabat oleh Yesus maka terjadilah pelanggaran atas tindakan penyembuhan. Hari Sabat memang telah ditetapkan sebagai hari khusus yang sebenarnya sama dengan hari lain. Sama-sama sebagai hari untuk memuliakan Allah dan menjadikan orang untuk bertanggungjawab secara seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Orang tidak dapat dikatakan melanggar hukum ke-4 kalau dirinya begitu menjunjung tinggi hari Sabat namun tidak bertanggungjawab dengan hari lain dengan bermalas-malasan, tidak memperhatikan dirinya dan keluarganya. Jelaslah orang semacam itu melanggar hukum Tuhan juga. Selama tujuh hari harus terjadi keseimbangan secara ritual dan tindakan nyata, bukan hanya menitikberatkan kehidupan rohani saja pada hari Sabat. Bagi Yesus, menolong perempuan yang terbelenggu kehidupannya jauh lebih bernilai dan menjadi bebas berarti perempuan itu sanggup untuk merayakan hari Sabat dan menjalani hari lain dengan leluasa. Yesus tidak ingin hari Sabat membelenggu dan menjadi aturan yang memberatkan dan legal formal; boleh dan tidak boleh. Yang terutama pada hari itu menjadikan orang memuliakan Allah dan bersukacita.
Biarlah melalui kehadiran GKI yang telah menyatu, kita terus menjadi gereja (melalui umat secara pribadi) yang disanggupkan memanusiakan manusia bukan menjadi gereja yang terbelenggu dengan aturan yang menjerat. Selamat bersyukur atas perjalanan GKI yang terus mengandalkan Tuhan Yesus sebagai kepala gereja. (SRS)