Bagaimana sikap kita sebagai orang-orang percaya terhadap para pemimpin? Pada umumnya, kita mengacu pada Roma 13: 1-3, yaitu bersikap “takluk kepada pemerintah yang di atasnya,” untuk menghindari hukuman dari Allah jika berani melakukan perlawanan kepada pemerintah. Jika petunjuk Firman Tuhan ini diikuti secara harfiah, kita justru bisa kehilangan tanggungjawab sebagai warganegara terhadap kehidupan politik berbangsa dalam pengertian yang luas. Pada sisi lain, petunjuk yang sama bisa membuat pemerintah berlaku semena-mena tanpa kontrol dari orang banyak.

 Yeremia diutus Allah menjalankan tugas kenabiannya kepada orang-orang Yehuda. Keadaan bangsa itu di akhir abad ke-7 sebelum Kristus berada dalam ancaman bangsa-bangsa lain. Bahkan Yeremia sendiri mengalami bagaimana Kerajaan Babel menaklukkan mereka pada awal abad ke-6 sebelum Kristus.

Namun, di tengah situasi seperti itu, Yeremia tetap memberikan tekanan kuat pada politik kebangsaan di dalam negeri kerajaan Yehuda. Pusat pemberitaannya adalah pemerintahan Allah yang ditandai oleh keadilan dan kesejahteraan. Maka, pucukpemerintah bangsa itu, yaitu raja, harus berjuang untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, sebagaimana yang dikehendaki Allah. Kriteria utama bagi seorang raja yang berkenan kepada Allah dan patut untuk dipatuhi oleh rakyat adalah apakah dia dan seluruh jajaran pemerintahannya menjadi orang-orang yang pertama-tama tunduk dan taat kepada Allah. Bagaimana hal itu terlihat dalam kenyataan? Yaitu, dengan berlaku adil dan mewujudkan kesejahteraan bagi anggota-anggota masyarakat yang lemah dan tak berdaya, bagi mereka yang terpinggirkan, bagi mereka yang lemah secara ekonomis dan rentan terhadap kehancuran kehidupan.

Jika yang terjadi adalah yang sebaliknya, pemberitaan Yeremia bernada tegas dan keras. Dikatakannya, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak! … [yang] telah membiarkan kambing domba-Ku terserak dan tercerai-berai, dan kamu tidak menjaganya.” Yang dimaksudkan dengan “para gembala” di sini adalah raja dan jajaran pemerintahannya. Dengan ungkapan ini, Yeremia mau menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin seperti itu jahat, “Celakalah gembala/pemimpin yang jahat!”. Dan, jika demikian, rakyat harus berani bersikap kritis kepada mereka, bahkan melawan mereka, justru karena ketaatan mereka yang utama ditujukan pertama-tama kepada Allah sendiri!

Apa yang kita petik buat kehidupan berbangsa kita di zaman now? Kita memang wajib menaati pemerintah, juga melalui ketaatan pada undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang berlaku. Namun, kepatuhan kita kepada pemerintah tidak bersifat absolut, tanpa batas. Kriterianya terletak pada baik atau buruknya pemerintah, yaitu apakah para pemimpin itu bekerja untuk memperjuangkan dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, atau sebaliknya. Jika yang sebaliknya terjadi, dengan mengikuti pemberitaan Yeremia, kita tidak perlu tunduk kepada yang jahat. Karena, kita harus lebih tunduk dan taat kepada Allah yang menghendaki kebaikan bagi semua orang.

Sikap seperti itu akan membuat kita berani bersikap kritis dengan menyampaikan kritik, bahkan perlawanan, kepada mereka. Ini justru menjadi tanda bahwa kita adalah warganegara yang peduli dan bertanggungjawab untuksecara bersama-sama membangun bangsa yang berkeadilan dan sejahtera. Pada sisi lain, hal ini juga akan menjaga para pemimpin kita, agar mereka tidak bersikap semena-mena tanpa kendali dan tanpa kontrol.

Lalu, dari sini kita juga dapat belajar satu hal lain lagi: kita harus bijak dan berani memilih pemimpin-pemimpin yang kita yakini benar-benar mencintai keadilan dan kesejahteraan serta yang memperjuangkannya buat semua. (LHP)