Bagi seorang murid, umumnya menghadapi ujian selama studi adalah

momok tersendiri. Tak jarang banyak orang dalam masa studi merasa

tertekan menjelang ujian. Di sekolah-sekolah diadakanlah sebuah
kebaktian tertentu untuk mempersiapkan para murid menghadapi
ujian. Hal ini pun tidak absen dari pokok doa syafaat di gereja atau
persekutuan. Bahkan, tekanan ini bukan hanya dirasakan oleh para
murid, tapi juga orangtua mereka.
Namun, diakui atau tidak, sesungguhnya setiap ujian selalu punya
tujuan yang baik. Ujian diadakan untuk mengukur kemampuan
seseorang memahami materi pelajaran yang telah diajarkan. Ujian
berguna sebagai evaluasi personal tentang kemampuan diri, tetapi juga
evaluasi komunal yaitu tentang sistem pembelajaran yang berlangsung.
Lalu bagaimana dengan ujian dalam kehidupan? Apalagi tak seperti
ujian sekolah, ujian hidup sering datang tanpa peringatan. Tidak ada
jadwal tetap bagi seseorang saat berhadapan dengan ujian kehidupan.
Materinya pun bisa begitu beragam. Bagaimanakah kita dapat
memaknainya?
Melalui Mazmur 66:8-22, pemazmur merefleksikan pengalaman buruk
yang ia alami sebagai ujian dari Tuhan.
Sebab Engkau telah menguji kami, ya Allah, telah memurnikan
kami, seperti orang memurnikan perak. (Mazmur 66:10)
Bagi pemazmur, pengalaman “dibawa dalam jaring”, “beban pada
pinggang”, “orang melintasi kepala”, dan “menempuh api dan air” (ayat
11-12) dihayati sebagai cara Allah menguji dan memurnikan.
Sekalipun demikian, Mazmur 66 ini perlu kita baca secara hati-hati agar
kita tidak mengambil kesimpulan yang terburu-buru dan keliru.
Misalnya, dengan mengatakan bahwa semua penderitaan dan kesulitan
hidup adalah ujian dari Tuhan. Jika kita menempatkan Mazmur 66 pada
keseluruhan kitab Mazmur bahkan keseluruhan konteks Alkitab, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua penderitaan atau
kesulitan hidup dapat dihayati sebagai ujian dari Tuhan. Penderitaan
dapat kita maknai sebagai ujian dan pemurnian apabila kita
mengalaminya saat kita hendak setia dan taat melakukan kehendak
Tuhan.

Amin (DWE)