Menyambut dan menerima seseorang yang kita sayang atau seorang sahabat karib merupakan hal yang menyenangkan. Akan tetapi, bagaimana jika kita diminta untuk menerima seseorang yang pernah menyakiti perasaan kita? Tentu ini bukanlah hal yang mudah. Kita gencar berbicara tentang kasih kepada sesama, bahkan terhadap musuh sekalipun (bnd. Lukas 6:27), namun gagap dalam bertindak. Rasa marah, terluka, dendam, dan kecewa menjadi rantai yang membelenggu dan menahan kita dari sikap hidup yang menyatakan kasih itu.

Tindakan kasih sesungguhnya dapat menghibur, menguatkan, dan “membebaskan” orang lain. Itulah yang dialami oleh Paulus dalam pengalamannya bersama Filemon. Pengalaman ini pula yang digunakan oleh Paulus sebagai gambaran ketika dia meminta Filemon untuk kembali menerima Onesimus. Onesimus dulu adalah seorang budak yang pernah merugikan Filemon dan kemudian melarikan diri. Namun, dalam perjumpaan dengan Paulus, Onesimus berubah menjadi orang yang lebih baik, bahkan disebut sebagai buah hati Paulus (ayat 11-12).

Penerimaan dalam sebuah komunitas yang baik akan membuat seseorang merasa berharga dan dihargai, serta ada kesempatan baginya untuk berkarya dalam hidupnya. Tentu saja, hal menerima ini perlu disertai dengan ketulusan hati dari yang menerima dan sikap baik dari orang yang diterima. Di satu sisi, Onesimus diserahkan kembali oleh Paulus karena ada pembaruan besar dalam dirinya. Di sisi lain, Filemon dan semua orang di lingkungan rumahnya diharapkan untuk mampu mengampuni serta menerima Onesimus dengan cara pandang yang lain, bukan sebagai hambanya yang pernah bersalah, melainkan sebagai saudara yang kekasih di dalam kehidupan setiap hari, baik di tengah masyarakat maupun dalam persekutuan iman. Hal ini tentu saja membutuhkan kasih yang besar. Kasih Filemon kepada Onesimus, hendaknya sama seperti kasih Filemon kepada Paulus dan juga kepada Kristus.

Melalui kisah ini, kita disadarkan bahwa kasih kita kepada sesama haruslah berjalan seiring dan sebanding dengan kasih kita kepada Tuhan. Kita juga diingatkan, kasih yang besar telah memungkinkan kita, yang seharusnya dihukum karena dosa, diterima kembali oleh Allah. Sudahkah kita juga menerima sesama kita dengan kasih Allah yang besar? Beranikah kita memutuskan rantai amarah, dendam, dan kekecewaan dalam berelasi dengan sesama? Maukah kita memandang sesama kita, siapa pun dia, sebagai bagian dari persekutuan tubuh Kristus yang indah dan setara? Kita mungkin pernah terluka, namun kasih pasti memulihkan! Dan, sikap saling menerima adalah salah satu obatnya. (WBM)