Peristiwa Sabat dalam tradisi agama Yahudi memiliki arti yang penting. Selain kegiatan berdoa dan membaca Torah di Sinagoge-sinagoge, umat yang merayakan Sabat haruslah mentaati semua peraturanya. Berdasarkan Traktat Sabat Mishnah 7:2, paling tidak ada 39 kegiatan yang dilarang, diantaranya adalah umat tidak diperbolehkan bekerja, misalnya: menabur, membajak, menuai, mengikat berkas gandum, membuang sampah, menampi, membuat roti, melakukan aktivitas bersama, dll. Sehingga jika mereka melanggarnya, maka akan ada hukuman yang diberikan oleh para pemuka agama Yahudi kepada mereka yang melanggar.

Dalam perikop kita hari ini, ada ketegangan yang terjadi antara Yesus dengan orang Farisi. Ketegangan ini muncul melalui 2 peristiwa yang terjadi yaitu Yesus membiarkan (mengijinkan) murid-murid memetik bulir gandum dan Yesus yang menyembuhkan orang. Kedua ketegangan ini dipakai oleh Yesus untuk merombak semua peraturan-peraturan yang dirasa sangatlah tidak membebaskan. Dengan kata lain larangan-larangan itu justru membuat umat tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Sehingga Yesus kembali bertanya seperti yang tercatat dalam Pasal 3: 4 ‘Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja’. Bagi Yesus, dalam melaksanakan peribadahan, umat membangun 2 relasi, yaitu relasi umat dengan Allah dan juga relasi umat dengan sesamanya. Keduanya haruslah memiliki keseimbangan. Itulah penghayatan Sabat yang sejati.

Demikian juga dalam kehidupan beriman kita. Banyak orang lebih menitik-beratkan pada relasi mereka bersama Tuhan dan mengabaikan relasi dengan sesamanya. Contoh ceritera kasus sederhananya adalah ketika seorang ayah ingin beribadah ke gereja pada hari Minggu, namun di tengah jalan mendapatkan telepon bahwa salah satu anaknya  di rumah jatuh dan perlu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, lalu meminta sang ayah untuk segera kembali ke rumah. Namun sang Ayah menjawab, ‘nanti dulu deh. Saya bisa terlambat nih ke gereja, saya mau berdoa dan mendengarkan firman. nanti saja setelah saya pulang beribadah’. Contoh kasus tersebut sama halnya dengan apa yang sedang perdebatkan oleh Yesus dengan orang farisi pada waktu itu. Sehingga hal ini haruslah menjadi perhatian kita bersama dalam kita menghayati Sabat.

Dalam kehidupan beriman kita, dibutuhkan keseimbangan dalam membangun relasi. Keduanya memiliki muatan yang sama pentingnya. Sehingga melalui perikop ini, kita di ajak untuk memeriksa kembali kehidupan Sabat kita, sudah sejauh manakah kita memaknai Sabat? Masihkah kita menutup hati, mata dan telinga bahkan uluran tangan kita ketika ada orang yang ingin mendapatkan pertolongan dari kita sementara kita terus berjalan melihat ke depan menganggap bahwa itu tidak terlalu penting, yang terpenting saya beribadah kepada Tuhan? Hari ini Yesus telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana kita memaknai Sabat yang membebaskan. Marilah kita nyatakan itu dalam kehidupan beriman kita yang nyata dlam persekutuan kita bersama Tuhan dan dengan sesame kita. Selamat merayakan Sabat! (rjt)