Belas kasih biasanya diartikan sebagai perasaan iba atau sedih melihat orang lain menderita yang mendorong seseorang untuk memberikan bantuan. Menurut Henri Nouwen, belas kasihan bukan sekadar perasaan iba atau sedih, tetapi sebuah gerakan Kristus di dalam diri seseorang yang mendorong untuk terlibat langsung dalam penderitaan sesama. Belas kasih akan terwujud jika kita meneladani kasih Kristus yang tak terbatas dan tak bersyarat. 

Perumpamaan tentang seorang Samaria yang murah hati adalah sebuah kisah yang Yesus ceritakan untuk menanggapi pertanyaan seorang ahli Taurat yang hendak mencobai-Nya. Yesus menceritakan perumpamaan ini, bertujuan agar ahli Taurat menyadari tentang mengasihi sesama atau menjadi sesama bagi siapapun yang membutuhkan.

Perumpamaan ini bercerita tentang seseorang yang berjalan seorang diri dari Yerusalem menuju Yerikho. Jalan dari Yerusalem ke Yerikho merupakan jalan yang terkenal berbahaya karena terjal dan berbatu. Ia dirampok habis-habisan dan ditinggalkan setengah mati. Yang menarik, ada tiga orang yang melewati orang tersebut namun hanya ada satu yang tergerak hatinya oleh belas kasihan.

Dua orang yaitu imam dan lewi sama-sama melewati dari seberang jalan. Ada beberapa pertimbangan mungkin yang membuat mereka memutuskan untuk tidak menolong yaitu adanya ketentuan untuk tidak menyentuh seorang mati supaya tidak menjadi najis selama tujuh hari (Bilangan 19:11).  

Sedangkan seorang Samaria melihat orang itu, ia tergerak oleh belas kasihan. Padahal ada ketentuan bahwa orang Samaria tidak bergaul dengan orang Yahudi dan sebaliknya. Sekalipun demikian, Ia pergi kepadanya, membalut luka-lukanya, menyiram lukanya dengan minyak dan anggur. Kemudian menaikkan orang itu ke atas keledainya dan membawa ke penginapan untuk dirawat. Sampai di penginapan, orang Samaria menitipkan orang ini untuk dirawat oleh pemilik penginapan dan memberikannya dua dinar untuk biaya perawatan sampai ia kembali. 

Dari sini kita juga bisa melihat bahwa pemilik penginapan tidak menunjukkan penolakan pada permintaan orang Samaria untuk merawat si korban. Padahal itu pun berisiko. Pertama, bila dua dinar yang diberikan ternyata tidak cukup untuk merawat si korban. Kedua, jika orang Samaria tidak kembali sesuai janjinya maka pemilik penginapan harus menanggung risikonya. Namun demikian, pemilik penginapan tetap menampung si korban sekalipun berisiko.

Perumpamaan ini menggambarkan bahwa berbelas kasih harus siap dengan segala risiko yang ada, antara lain kehilangan waktu, tenaga atau bahkan materi. Yang terpenting adalah hati yang tergerak oleh belas kasihan tidak boleh diabaikan. Yang mengerakkan hati kita adalah kasih Kristus yang ada dalam diri kita. Mari kita wujudnyatakan belas kasih yang bersumber dari Kristus dan Ia akan memampukan kita melakukannya bagi sesama kita. (LMP)