Kamus besar bahasa Indonesia menyatakan “rendah hati” adalah sifat tidak sombong, tidak angkuh. Dengan mendapatkan awalan dan akhiran pada kata “rendah hati” maka secara sederhana berarti kesediaan seseorang dengan kesadarannya untuk menjadi orang yang memiliki sifat tidak sombong, apa adanya dan tidak angkuh. Sedangkan iman berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap Allah yang berkuasa dan sanggup melakukan apapun bagi dirinya yang lemah. Secara sederhana, kerendah-hatian iman hendak menunjukkan kepada kita, orang yang melakukan tindakan apa adanya di hadapan Allah yang sanggup menyelamatkan. 

Dengan membandingkan dua tokoh dalam bacaan Injil Lukas 18:9-14; orang Farisi dengan pemungut cukai, sesungguhnya mereka sama-sama datang kepada Allah. Keduanya ingin dekat dan berjumpa dengan Allah. Mereka mengutarakan apa yang telah mereka jalani dan mengungkapkan dalam doanya. Nampak perbedaan yang sangat mencolok dan bertolak belakang saat keduanya berdoa di Bait Allah. Perbedaan tersebut yaitu :

Orang Farisi :

?    Menganggap dirinya benar.

?    Memandang rendah orang lain.

?    Membandingkan diri dengan pemungut cukai yang dianggap sebagai orang berdosa.

?    Menjalankan ketaatan dan kewajiban agama.

Pemungut cukai :

?    Berada di tempat yang jauh, tidak berani menengadah ke langit.

?    Datang dengan rasa malu dan penyesalan.

?    Meminta belas kasih.

?    Membawa diri kepada Tuhan dengan apa adanya.

Melalui tindakan dua tokoh tersebut, Yesus melihat kesungguhan dan ketulusan keduanya. Ungkapan iman bukanlah upaya membenarkan diri dengan merendahkan orang lain sebagai cara bahwa dirinya orang yang lebih baik, taat untuk menjalankan kewajiban agama, rutinitas dan tanggungjawab yang telah dibuatnya. Kerendah-hatian dan doa yang berserah, membuat pemungut cukai memiliki relasi yang diterima Allah. Allahlah yang mendekatkan diri dan berbelas kasih kepada mereka yang “merasa jauh” dari-Nya.

Dari kisah kedua orang tokoh tersebut kita belajar untuk intropeksi diri. Sangat dimungkinkan kita menjadi seperti orang Firisi, dengan segala keangkuhan dan kesombongan, karena merasa diri lebih rohani dengan membandingkan orang lain.  Ketika kita menganggap diri memiliki kemampuan rohani, setia dalam pelayanan dan kegiatan gerejawi – tanpa disadari apa yang kita lakukan berpusat pada diri kita sendiri. Namun bisa jadi kita seperti pemungut cukai, ketika kita merasa apa yang kita lakukan, pelayanan kita, tugas panggilan dan hidup yang kita jalani, terasa belum ada apa-apanya dibanding kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus untuk kita. Kita ingin agar Tuhan menerima apa yang kita lakukan dengan kerendahan hati, yang disertai rasa tulus menjadi kemuliaan nama-Nya. Amin. (SRS).