Kedudukan, jabatan, harta dan tahta adalah dambaan serta impian bagi setiap orang, khususnya mereka yang sedang meniti karir. Dengan apa yang diraih maka mereka beranggapan dirinya mencapai keberhasilan, layak dikagumi dan disegani oleh orang di sekitarnya. Keinginan semacam itu sesungguhnya wajar bahkan selalu ada di dalam benak kita. Dorongan meraih sukses semakin kuat jika ada atasan atau mereka yang berhak menentukan posisi dalam jabatan adalah orang yang masih memiliki hubungan kerabat atau keluarga dengan diri kita. Cara semacam itu jelas mengesampingkan jenjang, kemampuan, prestasi, karier dan proses yang ditempuh. Orientasi pekerjaan berubah dari apa yang seharusnya mereka lakukan dan kerjakan menjadi pada kedudukan dan jabatan yang akan diraih.

Yakobus dan Yohanes secara terus terang meminta kepada Yesus agar kedudukan di sebelah kanan dan kiri-Nya diberikan kepada mereka berdua. Mereka berdua yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Yesus tidak ingin kedudukan itu jatuh kepada salah satu dari sepuluh murid lainnya. Mereka piker dengan mengungkapkan terlebih dahulu kepada Yesus, maka mereka berdua akan mendapatkan “jatah” dengan kedudukan penting saat Yesus menjadi pemimpin yang benar-benar berkuasa di kemudian hari. Melalui percakapan dengan Yesus, kedua orang murid itupun menyatakan mampu dan sanggup menjalankan persyaratan yang ditetapkan Yesus. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya syarat itu adalah jalan penderitaan dan ketertundukan pada tindakan pelayanan Yesus. Menjadi besar bukan karena kedudukan dan jabatan yang akan diraih, melainkan melayani dengan merendahkan diri, rela diperlakukan tidak adil, dicaci maki, berada dalam penghinaan bahkan memberikan hidup untuk pelayanan.

Kedua anak Zebedeus ternyata tidak mengetahui apa yang sebenarnya akan dilakukan Yesus, demikian juga kesepuluh murid lainnya. Bukankah keinginan mengikut Yesus untuk mendapat kedudukan, jabatan dan perubahan nyata juga terjadi dalam diri kita? Ketidakmengertian dan ketidakmauan berproses di dalam diri pengikut Yesus  (baik murid-murid pada masa itu dan kita pada masa kini) itulah yang harus diubah. Bukan apa yang ingin kita dapatkan melainkan apa yang Dia mau dan inginkan untuk kita lakukan, menjadi seperti Dia (Yesus) yang melayani dan memberikan hidup. Karena jika kita tidak meneladan Yesus yang terjadi tidak lain ego kita, kesulitan menerima orang lain, memecah belah persekutuan, terjadinya relasi yang kurang baik. Tindakan itu berimbas bukan hanya dalam keluarga, gereja, lingkungan pekerjaan namun juga dalam hidup bermasyarakat bahkan berbangsa serta bernegara.

Marilah kita melayani dimanapun Tuhan menempatkan kita! (SRS)