Menempatkan orang lain sebagai sesama seperti diri sendiri memang bukan perkara mudah. Sekalipun kita mendengar, membaca dan menjadikan ajaran itu penting namun “menjadi sesama bagi orang lain” bukanlah perkara yang mudah. Salah satu ketidak-mampuan kita adalah karena kita menempatkan diri kita dalam kelebihan dari orang lain, adanya perbedaan status, kedudukan, jabatan, golongan, dan apapun yang dianggap berbeda oleh kita.

Kedatangan seorang ahli Taurat kepada Yesus tentu bukan tanpa pengetahuan dan tanpa pengalaman. Sebagai seorang pemimpin agama dan tokoh masyarakat, sudah dipastikan ia hafal dengan ajaran yang melekat dalam hidup sehari-hari. Mengapa sebagai seorang pengajar, dia harus bertanya kepada Yesus? Lepas dari apapun tujuan dan motivasi pertanyaan terhadap Yesus, dijawab-Nya dengan bijak dan uraian yang mudah dimengerti. “Kisah orang Samaria yang murah hati” adalah bagian penting dalam menjelaskan kepada si penanya dan siapapun yang mempertanyakan pergumulan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Yahudi yang berlalu-lalang dari Yerusalem Yerikho. Perjalanan 27 km itu penuh dengan tantangan karena medan yang tidak mudah untuk dilalui dan penuh resiko pembegalan (perampokan).

Yesus menjelaskan pengajaran secara gamblang kepada ahli Taurat, bukan sekedar teori yang dengan mudah dihafal, dibaca  dan didengar namun ajaran yang harus dilakukan. Yesus menegaskan dengan menampilkan tiga tokoh yaitu ; imam, orang Lewi dan orang Samaria. Ketiga tokoh itu tidak asing bagi masyarakat Yahudi terlebih bagi seorang pemimpin agama. Di dalam kehidupan sehari-hari tiga dari dua tokoh tentulah dinilai sebagi orang yang baik, berbeda dengan keberadaan orang Samaria yang ditolak. Apapun yang dilakukan orang Samaria termasuk perbuatan baik sekalipun, di dalam benak masyarakat Yahudi selalu tidak diperhitungkan dan tidak dinilai. Bagi orang Yahudi orang Samaria bukanlah golongannya, bukan orang sebangsanya dan terlebih karena berbeda keyakinan iman. Oleh karena itu orang Yahudi menganggap dirinya lebih unggul dibanding orang Samaria dan orang Samaria bukan sesama bagi orang Yahudi.

Tindakan nyata terhadap orang yang dirampok, terkapar dan membutuhkan pertolongan di jalan antara Yerusalem – Yeriko justru bukan dilakukan oleh seorang imam dan seorang Lewi yang keduanya adalah jelas orang Yahudi dan punya kedudukan terhormat dalam masyarakat. Berbagai alasan dapat saja dikemukakan bagi kedua orang itu untuk memberikan pertolongan. Pertolongan justru diberikan oleh orang yang tidak masuk hitungan dari sudut pandang orang Yahudi. Orang Samaria itu memberikan pertolongan bukan karena ia kaya, bukan karena tidak punya kesibukan dan tujuan dalam perjalanan itu. Apa yang diberikan oleh orang Samaria terhadap korban perampokan adalah hati yang rela berkorban dan mau berbagi. Orang Samaria itu menempatkan si korban sebagai sesamanya, yang mengukur orang lain seperti dirinya sendiri. Bukan sekedar berbela rasa namun melakukan tindakan nyata dengan kesediaannya berkorban.

Sesungguhnya kita adalah orang yang dilayakan Yesus menjadi sesama bagi orang lain, baik terhadap sesama saudara seiman maupun bukan. Sebagai gereja kita dipanggil menempatkan orang lain sebagai sesama kita tanpa memandang siapa mereka. Sebagai orang percaya hilangkanlah pandangan yang dibatasi karena perbedaan denominasi gereja, perbedaan keyakinan, perbedaan suku, etnis maupun bangsa. Menjadi sesama bagi orang lain berarti menempatkan orang lain sebagai orang yang perlu kita dukung, kita hargai, kita doakan dan kita tolong. Biarlah hidup kita menjadi berarti bagi orang lain seperti yang diteladankan Tuhan Yesus sendiri. Selamat berjuang bagi sesama. Tuhan beserta. Amin. (SRS)